12 February 2020

Kisah Gus Baha: Nasab, Pernikahan hingga Menjadi Panutan Besar

Hairus Salim Pernah membahas soal peta intelektual muslim, dilihat dari tempat mereka belajar, yakni Timur Tengah dan Barat. Menurutnya, alumni Timteng seperti Mesir dan Saudi Arabia lebih populis dan berpengaruh dibadingkan alumni Eropa, Amerika alias Australia. Alumni Barat, menurut Salim, lebih akademis dan elitis.

Pesantren daring Kiai Ulil Abshar Abdalla. Mengatakan, ada yang luput dalam peta inteletual yang diamati Hairus Salim, yakni alumni pesantren yang lebih piawai bekerja di sektor informal yang langsung menguasai “hajat nasib keagamaan” orang tidak sedikit.



Di antara alumni pesantren yang dimaksud Ulil, salah satunya, menurut saya merupakan Gus Baha. Ia belum sempat belajar di Timteng dan Barat, namun kapasitas keilmuannya tidak diragukan dan popularitas dan pengaruhnya mulai diperhitungkan.

Gus Baha atau Bahauddin merupakan putra Kiai Nur Salim, seorang pengasuh pesantren Alquran di Kragan, Narukan, Rembang. Kiai Nur Salim merupakan murid dari Kiai Arwani Kudus dan Kiai Abdullah Salam, Kajen, Pati. Nasabnya bersambung terhadap para ulama besar. Bersama dengan Kiai Nur Salim inilah Gus Miek (KH Hamim Jazuli) yang mengawali gerakan Jantiko (Jamaah Anti Koler) yang menyelenggarakan semaan Al-Qur’an dengan cara keliling. Jantiko kemudian berganti Mantab (Majelis Nawaitu Topo Broto), lalu berubah sehingga Dzikrul Ghafilin. Kadang ketiganya disebut bersamaan: Jantiko-Mantab dan Dzikrul Ghafilin.

Mencermati kesan dari para muhibbin alias fans Gus Baha, mengikuti pengajiannya itu menyenangkan. Islam menjadi terasa begitu mudah dan lapang. Ger-geran menjadi tahap tidak terpisahkan dari isi ceramahnya yang mendalam dan luas.

Kemudian akhirnya, Gus Baha juga menjadi seorang yang menginspirasi bagi para santri pesantren salafiyah (tradisional), bahwa kedalaman ilmu seorang santri, pada akhirnya bakal melampaui gelar-gelar akademik.

Gus Baha merupakan sosok yang sederhana. Ada cerita mengenai pernikahannya yang mungkin dapat menjadi inspirasi bagi para “pejuang Islam” yang tetap sorangan wae (jomblo). Ia dijodohkan oleh pamannya untuk melamar seorang Ning, putri salah seorang pengasuh pesantren Sidogiri.

Sebelum akad nikah, Gus Baha menghadap calon mertuanya untuk meyakinkan bahwa beliau tidak salah pilih menantu. Ia membahas dia yang jauh dari kemewahan dan hanya bergumul dengan dunia keilmuan. Dijelaskan seperti itu mertuanya malah terus yakin tidak salah pilih. “Klop,” katanya dengan mantap.

Saking sederhanya, hingga sekarang hanya ada satu postingan mengenai Gus Baha yang lumayan lengkap dan di-copy paste dalam beberapa media tergolong dirujuk dalam postingan ini. Belum terdapat seperti biografi yang komprehensif yang membahas sosok kiai pesantren yang alim ini.

Kiai kelahiran 1970 ini memilih Yogyakarta sebagai tempatnya mengawali pengembaraan ilmiahnya. Pada tahun 2003 ia menyewa rumah di Yogya. Kepindahan ini diikuti oleh sejumlah santri yang ingin terus mengaji bersamanya.

Mereka menyewa rumah yang tidak jauh dari kediamannya. Ketika ayahnya wafat pada 2005, ia wajib kembali ke Kragan, namun pengajiannya di Yogyakarta tetap berjalan sebulan sekali. Para muhibbin Gus Baha dengan tekun mengikuti pengajian bulanan itu di Pesantren Izzati Nuril Qur’an Bedukan, Pleret, Bantul.

Ia juga mengampu pengajian tafsir di Bojonegoro. Atas permintaan Kiai Sahal Mahfudh, Gus Baha juga membimbing ushul fiqih di Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati.

Opsinya mengawali “karir” di Jogja sungguh cocok. Di Kota Gudeg ini ia bersua intelektual dari beberapa disiplin ilmu yang terus mengasah kepakarannya. Kadang ia diledek juga, “Kiai, Kamu ini bacaannya luas kok tetap memilih NU?”

Gus Baha menjawabnya ringan, “Terbuktinya kalau saya tetap NU, sehingga problem?”

Di Kota Pelajar ini ia umpama membentuk “Kajian Kematian” bersama para doktor dan profesor. Sebab nasib di dunia yang sebentar saja dipersiapkan begitu serius, maka kenasiban akhirat yang jauh lebih lama, pasti wajib dibahas dan dikaji lebih serius lagi.

Tanpa terekam media, tergolong di lingkungan NU, Gus Baha “keluyuran” dari satu pesantren ke pesantren lain, memberbagi paparan mengenai tafsir dan hadis. Umpama di Pesantren Sidogiri, ia mengisi Pengaruh Israiliyat Terhadap Penafsiran Alquran. Kali lain ia memberi tau paparan dalam seminar tafsir dan hadits di Pesantren Fathul Ulum, Kwagean, Kediri. Di Ma’had Ali Pesantren Maslakul Huda ia mengkaji Kontekstualisasi Ayat-Ayat Perang dalam suatu  Muhadloroh ‘Ammah (kuliah umum).

Dalam pengajiannya ia menegaskan sebagai bukan penceramah alias mubalig. Ia mengaji. Sambil membaca kitab Jalalain umpama, ia membacakan juga sejumlah rujukan yang relevan dengan tema yang dibahas.

Awalnya ia menolak untuk timbul di saluran Youtube, tapi membolehkan para santrinya untuk merekam. Para santri ini lalu berhimpun dalam software telegram untuk saling beberapa rekaman pengajian Gus Baha. Ada juga yang memakai media dan software lain.

Baru akhir-akhir Gus Baha berkenan pengajian alias ceramahnya tayang di Youtube. Itulah sebabnya dalam desain di Youtube, pengajiannya tidak sedikit tetap berupa audio. Kutipan di awal postingan ini menjadi contoh muhibbin Gus Baha berkomunikasi dan share informasi

Dari suatu  link, saya mendapati sejumlah rekaman pengajian Gus Baha yang dapat diunduh, antara lain: Kajian tafsir Jalalain, Arbain fi Ushuliddin, Hayatus Shohabah, Musnad Ahmad, Nashoihul Ibad, al-Hikam, dan lain-lain. Penguasaanya ilmunya khas pesantren, selain alim di satu bidang, tapi lintas bidang, tafsir, fikih dan ushul fikih, hadis, dan pastinya tasawuf. Ini tidak sama dengan sarjana kampus, baik dari Barat ataupun Timur.

Saya menghargai opsi medium dakwahnya. Seorang kiai tidak dapat dipaksakan untuk memakai saluran media tertentu. Biarlah opsi-opsi media itu berkembang seiring waktu dan keperluan sang kiai. Jangan hingga saluran-saluran itu justru membikinnya tidak enjoy dan terkekang.

Beri keleluasan kepadanya untuk menempatkan dia dalam peta intelektual muslim Indonesia, sesuai karya dan kepakarannya. Dan jadwal ngaji yang padat seperti yang ditunjukkan di paragraf awal ini pun wajib “diwaspadai”. Biasanya, kalau telah sibuk, mulai jarang sendiri, padahal sendiri itu penting.

Ala kulli hal, tulisan ini hanyalah berupa amatan dari jauh dari seorang pecinta baru. Pasti belum lumayan untuk membahas sosok Gus Baha dengan cara lengkap. Untuk itu, para santri Gus Baha sendiri yang lebih cocok untuk menuliskannya. Wallahu a’lam.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive